UNTAIAN
AKHIR DI YOGYAKARTA
Hiruk-pikuk
keramaian orang di sepanjang jalan Malioboro tak pernah usai. Di siang hari
terlihat para wisatawan sibuk mencari berbagai cinderamata memadati area di
sepanjang jalan Malioboro. Di kala malam menjelang maka keramaian para pemburu
kuliner yang tampak memenuhi Jalanan Malioboro. Ini adalah pemandangan yang
biasa ditemukan ketika kita mengunjungi Malio begitulah sebutanku untuk central
perdagangan, di kota Yogyakarta ini.
Maka
malam pertama di Jogja, kuputuskan untuk berkunjung ke sana. Walaupun hujan rintik
namun tak menyurutkan langkahku, sebab untuk urusan perut memang tidak bisa
kompromi. Akupun menuju Warung Gudeg Bu Sastro yang tak pernah terlihat sepi. Ku
pesan Sepiring Gudeg Ayam lengkap dengan teh manis hangat, tak menunggu lama
pesanan pun tersaji. Tak sabar rasanya untuk segera menyantap nasi gudeg ini, tapi
terpaksa kutunda dulu hingga kedatangan temanku. Joko itulah dia teman masa SMA
ku dulu. Ia adalah seseorang yang hobi memasak dan hobi makan, sudah jelas ia
memiliki postur tubuh yang gempal kala itu. Kami memutuskan untuk bertemu
disini. “Hei, Nia !” suara dari kejauhan yang sontak menghentikan lamunanku.
Dari kejauhan terlihat seorang lelaki tinggi, berambut ikal, dan berkacamata,“Hei
Nia, ini aku Joko” ucapnya. Ia datang menghampiriku.
Terkejut
Aku melihatnya lelaki yang ku kenal dahulu telah menjadi seorang yang berbadan
tinggi yang memiliki postur tubuh yang proposional. Dia pun duduk dan langsung
memesan sepiring gudeg ceker. Dan tentu saja kami mulai mengobrol sambil menikmati santap malam. Kami
berbincang banyak hal tentang perubahan penampilan, kesibukan saat ini,
sampailah pada cerita percintaan, “Jadi Nia sudah berapa lama kamu menjomblo?”
Ia pun menyeringai. Sontak terkejut dengan kata-katanya akupun tersedak. “Apa…apa.
Sekarang aku memang jomblo dan itu lebih baik untukku.” Joko hanya tertawa
kecil. Tak lama setelah itu ada seseorang yang berjalan kearah kami dan melambaikan
tangannya. Sungguh tak percaya aku bertemu dengannya lagi. “Wah, maaf telat
nih. Biasa ada urusan di kampus.” Katanya.
Joko
pun mempersilakan lelaki itu duduk di sebelahnya. “Nia, Kau masih ingat dengan mantanmu?”
Sambil tertawa girang. Tentu itu membawa Aku kembali mengenang masa lalu ketika kami masih
bersama. Tito lelaki yang sebelumnya telah mengisi hatiku kurang lebih 3 tahun lamanya
saat kami berada di bangku SMA. Masih ada
dalam ingatanku dulu, kami memutuskan untuk berpisah karena ia harus tinggal
menetap disini, dan ketika ia menghilang
tanpa kabar berita apapun (Lost contact).
“Nia
gimana kabarnya?” Tito berusaha membuka percakapan kami.
“
Lumayanlah masih berkutat dengan huruf dan kata.” jawabku singkat.
Tak
terasa malam semakin pekat . “sepertinya aku harus pergi sekarang” kata Joko
berpamitan. Aku dan Tito pun berpamitan padanya kami berjalan menyusuri Malio
“Oh,
ya Nia kau tinggal di mana sekarang?” Tanya Tito.
Akupun
hanya mengatakan di Whiz Hotel malas sekali rasanya bertemu dengan pria ini.
Entah
mengapa tiba-tiba saja ia berkata “Ya sudah sekalian saja kuantarkan ya,
kebetulan kita searah.”
Sesampainya
di depan Hotel ia berkata “ Besok ada rencana kemana?”
“masih
belum pasti tapi Festival Lampion di Borobudur tak mungkin aku lewatkan.”
Balasku.
Pagi
harinya tepat pukul 10. rencananya aku akan pergi berkeliling kota Jogja. Tapi
sulit kupercaya Tito sudah ada di depan hotel. Dia melihatku kemudian
menghampiriku dan secara tiba-tiba Tito mengajakku ke Candi Prambanan. Sifatnya yang selfish, to do point, and straightforward
adalah suatu hal yang tak pernah berubah
darinya.
“Apa
kau tidak ada pekerjaan hari ini?” ucapku.
Ia
menjawab “ Sesekali menjadi Tour guide juga tidak masalah tapi aku yakin kau
kesini bukan untuk berliburkan, kan?”
Terkejut
aku mendengar hal itu, dan akupun hanya membalasnya dengan senyuman. Setelah
membeli tiket seharga tiga puluh ribu rupiah kami pun masuk kedalam kompleks Candi
Prambanan. Sebuah Candi Hindu yang menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO dan
merupakan Candi terindah Se- Asia Tenggara. Salah satu tempat yang tepat untuk
menghabisakan waktuku di Jogja.
Ada
sebuah mitos yang mengatakan bahwa pasangan yang datang kesana maka hubungan
mereka akan berakhir. Tentu hal ini berasal dari alkisah Roro Jonggrang yang
melakukan tipu muslihat pada Bandung Bondowoso untuk mencegahnya menjadi
suaminya. Tapi, Tito bukan lagi kekasihku jadi itu bukanlah masalah, yak an. Setelah
puas berkeliling dan mengambil beberapa foto kami menuju gerbang keluar Candi Prambanan.
Sulit untuk mengakui hal ini tapi rasanya menghabiskan waktu bersama Tito
membuatku sedikit melupakan kenangan pahit itu. Kenangan yang mambuatku ingin
pergi sejauh mungkin.
Semua
bermula darinya, Haris lelaki pertama yang mempermalukan dan menjatuhkan harga
diriku saat itu. Dia adalah lelaki yang telah ku kenal selama 5 tahun lamanya. Usia
kami terbilang cukup jauh berbeda, Haris berusia 7 tahun lebih tua dibandingkan
diriku. Dia seorang yang lebih dewasa, bijak, dan ramah dibandingkan Tito, dan
tipe idaman semua wanita. Itulah penilaian pertamaku tapi pada kenyataanya ia
tak lebih baik dari seorang “Pecundang” Karena hal itulah aku datang ke
Yogyakarta.
Perjalanan
kami berakhir dan Tito mengantarkan ku pulang ke hotel. Dalam kamar di atas ranjangku kembali terbesit
kata-kata Tito beberapa saat menjelang kepergiannya, bahwa ia pasti akan
kembali menjemputku suatu saat nanti. Tapi kenyataanya tidak begitu. Aku hanya
berpikir kenapa harus bertemu dengan Tito di saat seperti ini, apakah dia masih
menganggap aku sebagai seseorang special untuknya, apakah ia masih mengingat
kenangan kita berdua saat itu. Kegelisahan menjalar dalam diriku, ketika aku
ingin mencari kedamaian dan ketenangan diri justru sebuah dilema menghampiriku.
Dering handphone mengejutkanku, dan ternyata
telepon itu berasal dari Tito. Aku tidak mengerti bagaimana bisa ia mengetahui
nomor ini.
“
Hei Nia, besok ada rencana kemana, bagaimana kalau Aku mengantarmu berkeliling
kota jogja.” Ucapnya.
Kuacuhkan
saja pesan itu, namun keesokan harinya ia
kembali menjemputku tak banyak kata yang bisa ku ucapkan untuk menolak
ajakannya, dan pada akhirnya kami pergi berkeliling kota Yogyakarta. Mulai dari
Keraton Yogyakarta, Benteng Vredeburg, Alun-alun Kota, dan Taman Sari
Yogyakarta.
Kami
berhenti di alun-alun kota melihat dua buah pohon yang ada disana. Dua buah
pohon yang menurut kebanyakan orang siapa yang berhasil berjalan melaluinya
akan dekat dengan cinta sejatinya. Kami sontak tertawa bersamaan katika tito
berkata
“Kau
ingin mencobanya?”
“No
thanks” Ucapku.
“Kau tahu Nia, mungkin kau pikir aku tak peduli
padamu tapi faktanya aku menghawatirkanmu.” Balasnya.
Dan
seketika itu juga terucap dari bibirku “Tito, apa kau percaya pada Cinta?
Apakah menurutmu pernikahan itu penting?”
Tito
pun menatapku cukup lama dan menjawab “ aku percaya, dan kurasa keduanya sama
pentingnya, namun Cinta satu tingkat lebih penting, karena Pernikahan tanpa
Cinta hanya akan membawa ketidakbahagian bukan ?”
Akupun
hanya terdiam membisu tak tahu harus berkata apa.
Sebelum
ia mengantarku pulang tito berkata“ Besok malam aku akan menjemputmu dan kita
akan pergi bersama ke festival lampion itu.”
Tepat
pukul 22.00 WIB Tito menjemputku, Aku berusaha untuk menyembunyikan perasaanku
dan tetap tenang. Informasi yang kudapat dari joko mengenai pertunangan Tito
kusembunyikan dalam diam.
Tak
lama kemudian kami langsung pergi menuju Candi Borobudur untuk mengikuti Festival
Pelepasan Lampion disana. Festival itulah yang menjadi salah satu prosesi dalam
rangkaian perayaan Waisak di Yogyakarta. Festival Pelepasan 10.000 Lampion yang
menjadi symbol penghujung acara perayaan Waisak, dan memliki arti untuk melepaskan
harapan-harapan dan doa yang dinginkan setiap pengunjung yang datang.
Kami
sampai tepat pada tengah malam hiruk-pikuk keramaian para pengunjung tak
terelakan, persiapan menuju prosesi Pelepasan Lampion pun dimulai. Di saat kami
telah menerima sebuah lampion Tito kembali bertanya padaku
“Bisakah
kita memulainya dari awal?”
akupun
masih sibuk dengan menyalakan api lampion dan tidak menghiraukannya.
“
Hei Nia, apakah kau harus terus berdiam diri seperti itu! Sikapmu yang seperti
ini yang menyebabkan perpisahan kita.”
Geram
rasanya mendengar kata-kata itu
“Apa
yang kau harapkan dariku.” Setengah berteriak akupun melanjutkan
“ Lalu bagaimana dengan tunanganmu itu?”
Tak
peduli aku dengan kerumunan yang melihat kearah kami. Ia terkejut dengan mata
terbelalak ia pun menjawab dengan suara tertahan
“bagaimana
bisa kau tahu?”
Aku
hanya menatapnya, melihat ekspresi di wajahku ia pun melanjutkan
“aku
tak mencintainya aku masih bisa membatalkan pertunanganku itu, percayalah hanya
kau yang selalu ada dalam hatiku, kaulah yang selalu ku tunggu!”
Mendengar
perkataan itu tanpa sadar air mataku pun meleleh, bagaimana mungkin aku bisa
menerima semua ini. Membiarkan kejadian yang telah menimpaku dahulu akan
terulang lagi bagi wanita lainnya dan ia adalah tunangan Tito. Sungguh tak
ingin aku mempercayai hal ini.
Detik-detik
Pelepasan Lampion semakin dekat.
Sambil memegang sebuah lampion yang telah
menyala akupun berkata “ Tito, aku tak bisa menerima semua ini, perasaanmu
maupun kenyataan dari dirimu.”
“Kau sangat berarti untukku Tito dan aku tak
ingin kau melakukan kesalahan besar, kesalahan yang akan menyakiti perasaan
dari seorang wanita yang mencintaimu.” Lanjutku.
Dalam keheningan
ia menatapku dan berkata “Maafkan Aku Nia, dan terima kasih kau telah
mencegahku melakukan hal terburuk dalam hidupku.” Ia pun menorehkan senyuman
diwajahnya, senyuman yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Aku hanya
mengangguk perlahan. Tak lama kemudian kami melepaskan sebuah Lampion bersamaan
dengan Ribuan Lampion lainnya. Lampion-lampion yang memenuhi langit malam menuju
luasnya angkasa, 10.000 Lampion yang membawa doa dan harapan seluruh pengunjung
yang ada disana, termasuk juga harapanku untuk kebahagian Cinta Sejati di masa
mendatang.













